Fenomena bahwa pria berbadan atletis sering mendapatkan perlakuan berbeda bukan sekadar mitos sosial.
Berbagai studi psikologi sosial menunjukkan bahwa tubuh manusia adalah “isyarat visual cepat” yang memengaruhi bagaimana orang lain menilai kesehatan, energi, kompetensi, dan bahkan moralitas seseorang.
Artinya, tubuh atletis memberikan keuntungan tak langsung—atau privilege—bukan karena otot atau bentuk fisiknya semata, melainkan karena asosiasi psikologis yang melekat padanya.
Dalam psikologi evolusioner, tubuh atletis sering dikaitkan dengan kesehatan reproduktif, status gizi yang baik, dan kapasitas fisik tinggi.
Masyarakat modern mungkin sudah jauh dari konteks bertahan hidup ala zaman prasejarah, tetapi otak manusia tetap membawa bias lama ini.
Ketika seseorang terlihat bugar, otak otomatis mengasosiasikannya dengan kekuatan, vitalitas, dan kemampuan menghadapi tekanan.
Bias otomatis seperti ini disebut heuristic processing, yakni penilaian cepat tanpa banyak pertimbangan rasional.
Efeknya terlihat nyata dalam kehidupan sehari-hari. Dalam dunia kerja, penelitian menunjukkan bahwa kandidat dengan tubuh bugar dianggap lebih disiplin, energik, serta mampu menangani tugas fisik atau pekerjaan yang membutuhkan stamina mental.
Persepsi “fit” ini membuat mereka dipandang lebih siap menghadapi beban berat, meski sebenarnya kemampuan tersebut tidak selalu berkorelasi langsung dengan bentuk tubuh.
Privilege ini muncul dari anggapan bahwa seseorang yang menjaga tubuhnya menandakan gaya hidup teratur dan self-control yang baik—dua sifat yang sangat dihargai dalam dunia profesional.
Di ranah sosial, pria atletis cenderung lebih mudah diterima dalam kelompok, dianggap lebih percaya diri, dan lebih mampu menarik perhatian.
Sekali lagi, bukan ototnya yang bekerja, melainkan stereotip positif yang melekat. Tubuh atletis diasosiasikan dengan energi, kesigapan, dan kesehatan.
Orang cenderung merasa lebih nyaman dan aman dengan individu yang terlihat bugar, karena otak memprosesnya sebagai “mitra yang baik”—entah sebagai teman, rekan kerja, atau pasangan.
Dari sudut pandang kesehatan masyarakat, tubuh atletis identik dengan gaya hidup aktif: olahraga rutin, pola makan terjaga, dan kebiasaan hidup sehat lain.
Ketiga hal ini membangun persepsi bahwa pria tersebut lebih peduli pada tubuh dan penampilannya. Kepedulian semacam itu diasosiasikan dengan tanggung jawab dan rasa disiplin tinggi.
Walau tidak semua pria atletis sehat secara objektif, kesan tersebut tetap memengaruhi cara orang lain memperlakukannya.
Privilege ini juga bekerja dalam konteks komunikasi nonverbal. Bahasa tubuh orang yang fit biasanya lebih terbuka: gerakan lebih luwes, postur lebih tegak, dan ekspresi fisik lebih percaya diri.
Kombinasi ini membuat interaksi sosial terasa lebih mudah, dan orang lain pun memberi respons positif. Lingkaran umpan balik ini memperkuat kesan kompetensi dan daya tarik sosial.
Kesimpulannya, cowok berbadan atletis memang punya privilege, tetapi akar keistimewaan itu bukan pada ukuran otot atau proporsi tubuh.
Privilege itu muncul dari asosiasi sosial-psikologis bahwa tubuh atletis berarti sehat, energik, teratur, dan peduli penampilan. Persepsi ini lalu membentuk penilaian positif dalam pekerjaan, hubungan sosial, dan interaksi sehari-hari.
Dalam masyarakat yang makin visual, isyarat fisik seperti ini tetap menjadi kompas penilaian cepat, meski tidak selalu mencerminkan kemampuan seseorang secara keseluruhan.