Lari sering dianggap raja segala olahraga. Murah, bisa dilakukan di mana saja, dan katanya ampuh membakar kalori.
Sepatu dipakai, niat dikencangkan, masalah kesehatan seolah ikut luntur bersama keringat.
Sayangnya, tubuh manusia tidak sesederhana slogan motivasi.
Lari belum tentu olahraga yang baik untuk semua orang, terutama jika tujuan utamanya pembakaran kalori dan kesehatan jangka panjang.
Secara teori, lari memang membakar kalori cukup besar. Namun pembakaran kalori tidak bisa dilepaskan dari beban yang diterima tubuh.
Setiap langkah lari memberi tekanan pada sendi lutut, pergelangan kaki, pinggul, dan tulang belakang hingga 2–3 kali berat badan.
Pada orang dengan berat badan berlebih, otot lemah, atau postur buruk, lari justru menjadi tiket cepat menuju cedera. Kalori terbakar, iya. Tapi sendi aus pelan-pelan.
Masalah lain adalah anggapan bahwa semakin jauh dan lama berlari, semakin sehat tubuh.
Di sinilah marathon sering disalahpahami. Marathon bukan olahraga kesehatan, melainkan uji ekstrem ketahanan fisik.
Penelitian menunjukkan bahwa latihan lari jarak jauh berlebihan dapat meningkatkan risiko peradangan kronis, gangguan hormon stres (kortisol), hingga penurunan fungsi kekebalan tubuh.
Jantung pun tidak selalu “makin kuat”; pada sebagian orang, beban ekstrem justru memicu gangguan irama jantung.
Dari sisi pembakaran kalori, lari juga tidak selalu efisien. Banyak orang lari 30 menit, lalu merasa “pantas” membalasnya dengan makan berlebihan.
Defisit kalori pun lenyap dalam satu piring nasi padang.
Bandingkan dengan latihan kekuatan atau jalan cepat: kalori yang terbakar mungkin sedikit lebih kecil saat latihan, tapi metabolisme tetap meningkat lebih lama setelahnya.
Efeknya lebih ramah tubuh, terutama bagi pemula.
Lari juga menuntut kesiapan biomekanik. Tanpa penguatan otot inti, glute, dan paha, teknik lari mudah berantakan.
Akibatnya muncul shin splint, nyeri lutut, hingga cedera tendon Achilles.
Tubuh memberi sinyal lewat rasa sakit, tapi sering diabaikan demi target jarak atau aplikasi olahraga.
Bukan berarti lari harus dihindari sepenuhnya. Lari bisa sehat jika dilakukan sesuai kapasitas tubuh, jarak moderat, intensitas terkendali, dan didukung latihan pendukung.
Namun menjadikannya satu-satunya olahraga, apalagi memaksakan marathon demi gengsi, adalah strategi kesehatan yang rapuh.
Intinya sederhana: olahraga yang baik bukan yang paling melelahkan, tapi yang paling berkelanjutan.
Tubuh bukan mesin lomba. Ia lebih mirip sistem cerdas yang tahu kapan diberi tantangan, dan kapan harus dijaga agar tidak rusak oleh ambisi sendiri.
