Rafi menatap cermin di kamarnya pagi itu. Kaos putih yang dulu tampak longgar kini terasa ketat di bagian perut.
“Waduh, buncit banget ya,” gumamnya, menepuk-nepuk perut sendiri yang menonjol.
Ia tidak percaya kalau tubuh yang dulu ramping kini mulai berubah tanpa ia sadari.
Semalaman ia bergulir di tempat tidur, membuka internet, mencari satu pertanyaan sederhana: bagaimana cara mengatasi perut buncit? Namun semakin ia membaca, semakin banyak yang harus ia ubah dari gaya hidupnya.
Esoknya, di meja makan, ibunya menyodorkan sepiring nasi goreng dan telur mata sapi.
“Makan dulu, Raf. Kamu kelihatan kurus,” ujar ibunya.
Rafi tersenyum kecut. “Kurus di mana, Bu? Lihat nih,” katanya sambil menepuk perutnya.
Ibunya tertawa kecil, “Ah, cuma sedikit. Lari pagi aja.”
Dan saran itu menancap di kepalanya.
Hari itu Rafi mulai. Ia bangun lebih awal, mengenakan sepatu lari yang sudah lama ia abaikan.
Lima menit pertama terasa mudah, tapi menit keenam ia menyerah, terengah-engah.
Napasnya berat, perutnya terasa bergoyang setiap kali kaki menghentak tanah.
Tapi di antara rasa lelah itu, ada sedikit kepuasan: setidaknya ia mulai bergerak.
Malamnya, ia menulis daftar kecil di buku catatannya:
- Rajin olahraga, minimal 30 menit setiap hari.
- Kurangi gorengan dan makanan manis.
- Banyak minum air putih.
- Tidur cukup.
- Jangan stres mikirin perut sendiri.
Hari-hari berikutnya, ia mulai mengganti minuman bersoda dengan air putih dingin. Ia menolak ajakan teman-teman untuk nongkrong di kafe yang penuh camilan manis.
Sesekali ia tergoda, tapi ia belajar menahan diri. Ia juga mulai memperhatikan porsi makan—tidak lagi mengambil nasi dua kali, tidak ngemil tengah malam.
Namun perubahan tak terjadi secepat itu. Suatu sore, Rafi menatap lagi cermin yang sama. Ia masih melihat perut yang belum rata.
“Kenapa belum berubah juga, ya?” katanya kecewa.
Temannya, Guntur, yang kebetulan datang, menepuk bahunya.
“Sabar. Kamu tahu nggak, bukan cuma olahraga yang penting. Pola makan dan tidur juga berpengaruh besar. Tubuh butuh waktu buat adaptasi.”
Rafi mengangguk pelan. Ia teringat lagi satu hal yang ia baca: berat badan ideal tidak hanya tentang angka di timbangan, tapi tentang keseimbangan. Ia pun memutuskan menghitung BMI-nya.
Ia menulis rumus di buku: BMI = berat badan (kg) / tinggi badan (m)².
Dengan tinggi 1,73 meter dan berat 78 kilogram, hasilnya sekitar 26.
“Berarti... overweight,” katanya sambil terkekeh pahit. Tapi alih-alih putus asa, angka itu menjadi pemicunya.
Malam itu, Rafi menulis satu catatan baru di ponselnya:
“Berat badan ideal bukan tujuan akhir, tapi proses mengenal tubuh sendiri.”
Ia mulai menikmati rutinitas kecil yang dulu terasa berat. Jalan kaki ke warung daripada naik motor, mengganti nasi putih dengan nasi merah, dan melakukan latihan pernapasan ringan setiap pagi.
Kadang ia melakukan yoga bersama video di YouTube—meski sering jatuh saat mencoba pose sulit, ia tertawa sendiri.
Sebulan kemudian, ia menatap lagi bayangannya di cermin. Perutnya memang belum sepenuhnya rata, tapi tubuhnya terasa lebih ringan, tidurnya lebih nyenyak, dan wajahnya terlihat segar. Ia tersenyum.
“Mungkin ini bukan tentang perut buncit,” katanya pelan. “Tapi tentang belajar menghargai tubuh sendiri.”
Di luar kamar, suara ibunya memanggil, “Rafi, makan malam, Nak!”
Rafi keluar sambil tertawa, “Tapi jangan gorengan ya, Bu. Aku lagi jaga bentuk perut!”
Ibunya menjawab sambil terkekeh, “Tenang aja, hari ini sayur bening dan tempe rebus.”
Dan di meja makan sederhana itu, Rafi merasa damai. Bukan karena perutnya mengecil, tapi karena ia akhirnya tahu—menjadi ideal bukan soal ukuran, tapi soal keseimbangan antara tubuh dan tekad.