Memamerkan hasil kerja keras di gym kadang terasa seperti kemenangan kecil.
Otot lebih tegas, lemak berkurang, dada makin bidang—siapa yang tidak bangga?
Banyak orang memposting foto shirtless sebagai bentuk apresiasi terhadap diri sendiri, juga untuk menginspirasi agar orang lain semangat berolahraga dan menjaga kesehatan.
Tidak ada yang salah dengan itu. Tubuh adalah karya seni personal, dan setiap orang bebas mengapresiasi prosesnya.
Namun, internet bukan ruang steril dan penuh malaikat. Dunia digital dibangun dari algoritma, manusia, dan… cukup banyak orang aneh.
Ada sisi gelap yang perlu dikenali sebelum terlalu percaya diri membuka baju di Instagram, TikTok, atau platform lainnya.
Sikap waspada penting, supaya kebanggaan tidak berubah jadi masalah.
-00-
Pertama, sering diambil akun fake. Foto shirtless yang diposting publik bisa dengan mudah discreenshot atau diunduh tanpa sepengetahuan pemiliknya.
Banyak akun palsu memakai foto pria bertubuh atletis untuk memancing follower, jadi catfish, atau bahkan menipu orang lain demi transaksi finansial.
Di balik profil tampan itu, mungkin sedang ada seseorang yang menggunakan identitasmu untuk menjerat korban.
Bayangkan bangun tidur dan menemukan ratusan pesan DM: “Bang, ini beneran akun asli?” atau yang lebih buruk, laporan bahwa foto dirimu digunakan menipu uang jutaan rupiah. Ribet? Sudah pasti.
-00-
Kedua, dijadikan bahan fantasi seksual. Foto shirtless sering dianggap sensual, terutama jika angle-nya tepat dan lighting-nya lembut seperti film Hollywood.
Begitu gambar itu beredar, kontrol sepenuhnya hilang. Tidak bisa melarang orang untuk menyimpan, zoom-in, atau menggunakannya untuk kebutuhan biologis mereka.
Bahkan ada forum-forum tertentu di internet yang secara aktif mengumpulkan foto-foto attractive shirtless dan membahasnya seperti koleksi kartu Pokemon.
Ironinya, niat awal menginspirasi hidup sehat berakhir jadi objek fetish massal tanpa persetujuan. Tidak semua orang siap psikologis menghadapi kenyataan semacam itu.
-00-
Ketiga, dipakai untuk promosi produk suplemen tanpa izin. Banyak brand gelap di internet memanfaatkan foto atlet atau gym-goers untuk memasarkan produk seperti obat peningkat testosteron, suplemen pembakar lemak, hingga produk palsu yang belum jelas kandungannya.
Foto shirtless yang terlihat meyakinkan adalah magnet marketing paling murah, dan mereka tidak ragu mencuri foto lalu menempelkan caption: “Berhasil turun 10 kg dalam 2 minggu! Cobain suplemen kami!” Tiba-tiba nama baik ikut tercemar karena dikaitkan dengan produk abal-abal yang bisa membahayakan orang lain.
Semua risiko ini bukan berarti harus berhenti total. Hanya perlu berhati-hati. Ubah akun ke mode private jika merasa rawan, watermark foto, atau pilih angle yang tidak terlalu revealing. Ingat, kontrol atas tubuh sendiri lebih penting dari sekadar likes dan komentar api unggun.
Tubuh yang sehat adalah pencapaian. Tapi di era digital, melindungi identitas—bahkan identitas visual—adalah bagian dari kedewasaan. Dunia maya tidak selalu ramah; kadang ia seperti laut yang penuh hiu lapar. Lebih baik berenang dengan pelampung kesadaran daripada tenggelam dalam penyesalan.