Header Ads Widget



Jika manusia diciptakan untuk selalu rapi, alam pasti sudah menyediakan layanan waxing bawaan sejak lahir. 

Faktanya, tubuh pria—dari dada, kaki, ketiak, hingga wajah—ditumbuhi bulu dengan tingkat ketebalan yang berbeda-beda. 

Ada pria yang berbulu lebat, ada pula yang nyaris mulus seperti porselen. 

Perbedaan ini bukan kebetulan, melainkan hasil kerja sama antara genetika, hormon, dan sejarah evolusi manusia.

Secara biologis, bulu tubuh pada pria dipengaruhi kuat oleh hormon androgen, terutama testosteron. 

Hormon ini merangsang folikel rambut agar menghasilkan rambut terminal—rambut yang lebih tebal, kasar, dan berpigmen gelap. 

Semakin sensitif reseptor androgen seseorang, semakin besar peluang tubuhnya berbulu lebat. 

Itulah sebabnya dua pria dengan kadar testosteron mirip tetap bisa punya tingkat kebulusan yang sangat berbeda. Genetik keluarga ikut bicara banyak di sini.

Lalu kenapa ada pria yang relatif mulus? Penyebabnya bisa kombinasi faktor genetik, sensitivitas hormon yang rendah, atau latar belakang etnis. 

Populasi Asia Timur, misalnya, cenderung memiliki rambut tubuh lebih tipis dibandingkan pria dari kawasan Mediterania atau Timur Tengah. 

Jadi, ini bukan soal “kurang jantan”, melainkan variasi biologis yang normal.

Dari sisi fungsi, bulu tubuh bukan hiasan tanpa makna. 

Secara evolusioner, bulu membantu menjaga suhu tubuh, mengurangi gesekan pada area tertentu (seperti ketiak dan selangkangan), serta berperan dalam penyebaran feromon—zat kimia alami yang memengaruhi ketertarikan seksual. 

Meski manusia modern sudah punya pakaian dan parfum, sistem biologis ini belum sepenuhnya pensiun.

Pertanyaan yang sering muncul: apakah ada perbedaan seksual antara pria berbulu dan tidak berbulu? 

Secara medis dan seksual, jawabannya tegas: tidak ada perbedaan fungsi seksual. 

Libido, kesuburan, performa ereksi, hingga kemampuan reproduksi tidak ditentukan oleh banyaknya bulu. 

Testosteron memang berperan dalam pertumbuhan bulu, tetapi kadar hormon yang “cukup” sudah memadai untuk fungsi seksual normal—tanpa harus berubah jadi manusia serigala.

Namun, persepsi sosial dan preferensi pasangan berbeda-beda. 

Ada yang menganggap pria berbulu lebih maskulin, ada pula yang mengaitkan tubuh mulus dengan kebersihan dan estetika modern. Ini wilayah budaya, bukan biologi.

Bulu tubuh pria adalah produk alam yang rasional, bukan indikator nilai atau kualitas seksual. 

Berbulu atau tidak, yang menentukan kesehatan pria tetap gaya hidup, kebugaran, dan keseimbangan hormon—bukan jumlah rambut di dada. 

Alam tidak pernah salah desain; manusialah yang sering kebanyakan menilai.

Post a Comment

Kasih koment di sini bro, met nikmatin isi blognya ya, keep safety