Selingkuh selalu jadi topik yang bikin alis naik dan jantung sedikit deg-degan, tapi di balik drama itu ada struktur psikologis yang bisa dibedah layaknya anatomi perilaku manusia.
Dalam kajian psikologi hubungan, selingkuh tidak berdiri sebagai satu fenomena tunggal; ia berlapis-lapis sesuai motif, kondisi relasi, dan kebutuhan emosional maupun biologis seseorang.
Jika dibedah secara ilmiah, tiga jenis berikut menggambarkan spektrum yang luas tentang kenapa manusia tetap bisa “melirik ke luar pagar”, meski pagar itu sendiri kokoh.
-00-
Jenis pertama adalah perselingkuhan rekreasional. Istilahnya terdengar seperti paket liburan, tapi dalam praktiknya ini lebih seperti upaya mengisi kekosongan emosional sementara.
Peneliti hubungan menyebutnya sebagai opportunistic infidelity, perilaku yang muncul saat seseorang sedang mengalami kejenuhan, jarak emosional, atau kesepian karena kondisi tertentu—misalnya hubungan jarak jauh atau pasangan sedang mengalami fase sulit.
Yang menarik, secara psikologis pelaku biasanya tidak berniat mengakhiri hubungan inti. Mereka masih menganggap pasangan sah sebagai pusat keterikatan, sementara selingkuhan hanya bertindak sebagai “ruang pelarian”.
Mekanisme ini bekerja mirip perilaku kompensasi: ketika ada kebutuhan sosial-emosional tidak terpenuhi dalam jangka pendek, otak mencari substitusi cepat, mirip seperti ngemil ketika stres. Efeknya singkat, tapi kerusakannya sering panjang.
-00-
Jenis kedua adalah perselingkuhan substitusi peran. Di sinilah ceritanya mulai lebih dalam.
Dalam psikologi relasi, kondisi ini sering muncul ketika ada kegagalan kebutuhan inti yang bersifat kronis: kebutuhan akan validasi, afeksi stabil, dukungan emosional, atau rasa aman.
Seseorang menemukan orang lain yang tidak hanya mengisi kekosongan sementara, tetapi benar-benar menggantikan fungsi pasangan.
Fenomena ini bersifat kompleks karena ada pergeseran struktur keterikatan. Sistem limbik—bagian otak yang mengatur emosi—mulai membangun ikatan baru.
Perilaku selingkuh tidak lagi impulsif, melainkan repetitif dan konsisten. Hubungan inti menjadi ruang formalitas, sementara hubungan substitusi mulai berperan sebagai hubungan emosional utama.
Akibatnya, potensi perpisahan lebih besar karena keterikatan alternatif telah tumbuh cukup kuat untuk bersaing dengan hubungan sah.
-00-
Jenis ketiga adalah perselingkuhan berbasis keserakahan, atau dalam literatur psikologi disebut high-impulse infidelity yang didorong oleh tingginya kebutuhan sensasi.
Pelaku biasanya tidak mengalami kekurangan dari pasangan, tidak sedang kesepian, dan tidak mencari pengganti.
Mereka hanya mengejar rangsangan baru (novelty seeking). Dalam otak, fenomena ini berhubungan dengan sensitivitas sistem dopamin yang lebih besar terhadap hal-hal baru atau menantang.
Seks, dalam hal ini, berfungsi seperti permainan adrenalin—bukan kebutuhan emosional. Jenis selingkuh ini bersifat narsistik: seseorang sudah memiliki hubungan stabil, tetapi tetap bermain-main demi kenikmatan pribadi.
Secara sosial, pola ini rentan berulang karena tidak ada motivasi internal yang menahan perilaku.
Tiga jenis ini bukan kotak-kotak mati; manusia rumit, sehingga banyak situasi berada di wilayah abu-abu. Namun kategorisasi ini membantu memahami struktur psikologis di balik sebuah pengkhianatan. Membaca motif berarti membuka kemungkinan memperbaiki relasi, atau setidaknya memahami arah angin sebelum badai datang.