Header Ads Widget


Gym itu selalu penuh selepas magrib. Lampu-lampu putih menyinari deretan barbel dan mesin kardio, menghadirkan suasana seperti arena gladiator modern. 

Namun di tengah hiruk pikuk suara besi beradu dan napas terengah-engah, ada satu sosok yang berbeda. Namanya Rama. 

Tidak terlalu mencolok, tidak banyak bicara, tapi entah kenapa semua orang merasa nyaman berada di dekatnya.

Aku pertama kali memperhatikan Rama ketika sedang menunggu giliran bench press. Di sebelahku, dua cowok sedang berdebat soal progres latihan dan saling menyalahkan. 

Suasana mulai panas, nada suara naik, dan salah satu dari mereka membanting botol minum ke lantai. Aku refleks menoleh, bersiap kalau-kalau mereka berkelahi. Tapi Rama, yang berdiri tak jauh dari situ, perlahan mendekat.

Bukan untuk memarahi, bukan untuk ikut berdebat. Dia hanya berkata pelan, “Bro, kalian lagi progres yang sama kan? Mau coba evaluasi bareng sehabis set ini?”

Suaranya datar dan stabil, sama sekali tidak terseret arus emosi. Dua cowok itu terdiam. Lalu dengan canggung saling melirik, mengambil botol minum masing-masing, dan kembali latihan.

Aku menatap Rama, heran. Kebanyakan orang kalau melihat drama semacam itu akan ikut komentar atau justru menjauh. Tapi dia seolah tahu kapan harus masuk, kapan harus diam. 

Tanpa sengaja aku memperhatikan polanya dari hari ke hari, dan tiga sikapnya membangun aura yang sulit untuk tidak disukai.

1

Yang pertama, dia bukan tipe yang suka memonopoli percakapan. Di dunia yang semuanya berlomba bicara paling keras, Rama memilih menjadi pendengar. 

Setiap kali seseorang curhat soal program latihan atau target berat badan, dia mendengarkan dengan fokus. 

Tidak menyela, tidak sok tahu. Kalau berbicara, dia hanya melempar pertanyaan balik yang sederhana tapi tajam, seperti: “Menurut kamu yang paling berat bagian mana?” atau “Kamu sendiri nyaman dengan progres sekarang?” Dialog dengannya terasa seperti ruang aman tanpa penilaian.

2

Sikap kedua, Rama nyaris tidak pernah terpancing emosi. Bahkan ketika ada orang yang sinis atau mencoba meremehkan. 

Pernah satu kali, seorang member baru—cowok besar yang percaya diri berlebihan—menyindir Rama karena hanya mengangkat beban relatif ringan. 

“Wah, beban segitu? Itu pemanasan anak SMA,” katanya sambil tertawa keras. Banyak yang mungkin akan tersinggung. Aku yang mendengar saja ikut panas. 

Tapi Rama hanya tersenyum tipis dan menjawab, “Setiap orang punya start berbeda. Fokusku bukan jadi yang paling berat, tapi paling konsisten.” 

Maksudnya sederhana, tapi kalimat itu menghantam seperti pukulan uppercut ke arah ego. Cowok itu terdiam, lalu semenjak itu tidak pernah bersikap sombong lagi.

3

Sikap ketiga terlihat dari konsistensinya. Dia selalu datang jam yang sama setiap hari, melakukan pemanasan rapi, latihan terstruktur, pendinginan tertib. 

Tidak pernah berpamer, tidak pernah merekam diri sendiri, tapi progres tubuhnya bicara keras—bahu semakin tegas, punggung semakin lebar, perut mengencang. 

Disiplin semacam itu bukan hanya membentuk otot, tapi membangun rasa hormat. Orang-orang di gym mulai memperhatikannya bukan karena ia banyak bicara, tapi karena tindakannya mencerminkan kesiapan mental.

Suatu malam setelah latihan, aku memberanikan diri menghampirinya di depan cermin besar. “Gue perhatiin lo dari kemarin,” kataku setengah gugup. “Lo punya aura yang beda. Kayak tenang tapi kuat. Lo belajar dari mana cara begitu?”

Rama mengangkat handuknya, menyeka keringat, lalu tersenyum pelan. “Gue cuma percaya satu hal,” ucapnya. “Cowok yang hebat bukan yang paling keras suaranya, bukan paling besar ototnya, tapi yang paling bisa mengontrol dirinya sendiri.”

Kalimat itu seperti pintu yang terbuka pelan, mengundang siapa saja untuk masuk dan belajar.

Sejak malam itu, aku mengubah banyak hal. Mengurangi bicara dan mulai mendengar. Mengelola reaksi sebelum meledak. Konsisten turun latihan tanpa drama.

Ada yang bilang aura itu sesuatu yang mistis. Tapi setelah mengenal Rama, aku paham: aura adalah hasil dari kebiasaan kecil yang dilakukan setiap hari hingga menjadi karakter. Dan karakter itulah yang bersinar tanpa perlu diteriakkan.

Aura positif bukan bawaan lahir. Ia dibangun—diam-diam, tanpa gembar-gembor—sampai dunia tak punya pilihan selain memperhatikan.

Post a Comment

Kasih koment di sini bro, met nikmatin isi blognya ya, keep safety