Bekerja shift malam memang bukan hal asing lagi di dunia kerja modern—apalagi di sektor kesehatan, keamanan, transportasi, atau industri pabrik.
Tapi di balik kewajiban itu, tubuh manusia sebenarnya tidak “didesain” untuk aktif di malam hari.
Secara biologis, ritme sirkadian—yakni jam biologis alami tubuh—mengatur kapan kita merasa mengantuk dan kapan kita berenergi.
Masalah muncul ketika jadwal kerja malam memaksa tubuh melawan jam biologisnya sendiri.
Secara ilmiah, ritme sirkadian dikendalikan oleh bagian otak bernama nukleus suprachiasmaticus (SCN) yang menerima sinyal cahaya dari mata.
Saat malam tiba dan cahaya berkurang, SCN memberi sinyal pada kelenjar pineal untuk memproduksi hormon melatonin, yang memicu rasa kantuk.
Nah, bagi pekerja shift malam, paparan cahaya buatan di tempat kerja mengacaukan sinyal ini.
Akibatnya, produksi melatonin terganggu, tidur jadi tidak nyenyak, dan tubuh kehilangan keseimbangan antara waktu istirahat dan waktu aktif.
Kondisi ini bisa memicu shift work disorder (SWD), yaitu gangguan tidur akibat kerja bergilir.
Gejalanya antara lain sulit tidur di siang hari, mudah lelah, sulit fokus, hingga perubahan suasana hati.
Dalam jangka panjang, pola kerja malam tanpa manajemen tidur yang baik bisa meningkatkan risiko tekanan darah tinggi, gangguan metabolisme, bahkan diabetes tipe 2.
Tubuh manusia, sesempurna apa pun adaptasinya, tetap membutuhkan tidur malam yang cukup untuk memperbaiki sel dan menjaga keseimbangan hormon.
Tapi bagaimana berdamai dengan kenyataan ini? Menolak shift malam bukan pilihan bagi banyak orang, jadi kuncinya adalah adaptasi cerdas.
Pertama, penting untuk membuat rutinitas tidur tetap meskipun waktunya tidak konvensional.
Misalnya, jika selesai kerja pukul 6 pagi, biasakan langsung tidur setelah sampai rumah, dengan kamar yang gelap dan tenang.
Gunakan tirai blackout atau penutup mata agar tubuh “percaya” bahwa itu malam hari.
Ini membantu meningkatkan produksi melatonin dan membuat tidur lebih efektif.
Kedua, jaga pola makan dan hidrasi. Hindari kafein menjelang akhir shift karena efeknya bisa menunda rasa kantuk.
Sebaiknya konsumsi makanan tinggi protein saat bekerja agar tetap bertenaga, dan makanan tinggi serat serta karbohidrat kompleks sebelum tidur agar tubuh lebih rileks.
Air putih tetap penting, tapi jangan berlebihan menjelang tidur agar tidak sering terbangun.
Ketiga, paparan cahaya harus diatur dengan cermat. Saat bekerja malam, terangilah ruangan kerja dengan cukup cahaya untuk menekan rasa kantuk.
Tapi ketika pulang, gunakan kacamata hitam agar cahaya pagi tidak “menipu” otak dan menekan produksi melatonin. Ini trik sederhana namun efektif.
Keempat, tetap aktif secara fisik. Olahraga ringan di sore hari sebelum berangkat kerja bisa menjaga metabolisme dan kualitas tidur.
Hindari olahraga intens setelah shift, karena bisa membuat tubuh terlalu terstimulasi untuk tidur.
Intinya, berdamai dengan shift malam bukan tentang melawan jam biologis, tapi menipu otak dengan cerdas agar tetap sinkron dengan pola hidup baru.
Tubuh manusia memang lentur, tapi tetap butuh aturan main.
Selama pola tidur dijaga konsisten, nutrisi diperhatikan, dan tubuh diberi waktu adaptasi, kerja malam bukan berarti menghancurkan kesehatan—asal tahu cara bersahabat dengan waktu yang terbalik.
