Header Ads Widget

Kenapa rutin jogging, bahkan sering ikut event running, tapi berat badan nggak turun-turun juga? 

Kedengarannya menyebalkan. Sudah rajin lari, napas megap-megap, keringet netes kayak baru keluar sauna, tapi angka di timbangan tetap keras kepala. 

Sering muncul pikiran: jangan-jangan tubuhku kebal olahraga? Atau aku minum es teh manis terlalu banyak habis lari?

Tenang dulu. Secara ilmiah, ada beberapa penjelasan masuk akal kenapa lari tidak otomatis bikin pipih.

Pertama: tubuh itu adaptif. Saat baru mulai jogging, tubuh kaget dan membakar kalori lebih banyak. 

Tapi makin sering dilakukan, tubuh jadi efisien. Artinya, aktivitas yang sama menghabiskan energi lebih sedikit. Ini disebut exercise adaptation

Kalau kamu tiap hari lari jarak sama, kecepatan sama, rute sama, tubuh akan menyesuaikan dan tidak lagi memicu pembakaran kalori besar. 

Solusinya sederhana: progress. Tingkatkan intensitas, jarak, pace, atau tambahkan interval sprint.

Kedua: compensation effect. Banyak orang merasa sudah “berjasa” setelah olahraga, lalu tidak sadar makan berlebih. 

Misalnya sudah jogging 7 km, rasa-rasanya pantas dong reward es boba brown sugar plus extra topping? 

Padahal kalori lari 7 km mungkin sekitar 400–500 kkal, sementara satu gelas boba bisa 600–700 kkal. Jadi alih-alih defisit kalori, malah surplus. Berat badan pun nggak bergerak ke mana-mana.

Ketiga: massa otot berperan besar. Jogging tipikal adalah cardio steady state—bagus untuk jantung, stamina, dan mood, tapi tidak terlalu ampuh menambah massa otot. 

Metabolisme basal (BMR), yaitu jumlah kalori yang tubuh bakar saat istirahat, meningkat kalau kita punya otot lebih banyak. 

Tanpa latihan beban, BMR rendah, sehingga pengurangan berat badan lebih lambat. 

Itu sebabnya pelari jarak jauh profesional tetap latihan gym angkat beban.

Keempat: stres dan tidur. Saat kurang tidur atau stres, hormon kortisol meningkat. 

Kortisol memicu tubuh menyimpan lemak, terutama di perut. Banyak pelari hobi yang latihan keras, tapi tidur cuma 5 jam, hidup penuh drama, kerja lembur. 

Tubuh tidak peduli kamu ikut 5K, 10K, atau half marathon. Kalau hormon berantakan, pembakaran lemak ikutan kacau.

Kelima: angka timbangan bukan satu-satunya ukuran. Bisa jadi berat badan stabil, tapi komposisi tubuh berubah. 

Lemak turun, otot naik. Karena otot lebih padat daripada lemak, ukuran celana mungkin mengecil tapi angka timbangan tetap. Banyak orang panik terlalu cepat hanya karena angka digital.

Jadi apakah ada yang keliru? Bukan keliru, hanya strategi yang belum lengkap.

Tiga langkah sederhana yang bisa kamu lakukan: 

Satu: kombinasikan lari dengan latihan kekuatan minimal 2–3 kali seminggu. Squat, push-up, plank, atau pakai barbel kalau ada. 

Dua: atur pola makan dengan defisit kalori 10–20% dari kebutuhan harian. Bukan diet azab, cukup makan sadar. 

Tiga: variasikan lari. Tambah interval, tempo run, atau hill run. Biar tubuh tidak santai-santai.

Lari itu kegiatan mulia. Membuat pikiran jernih, meningkatkan daya tahan, dan bikin kamu merasa hidup. Tapi untuk menurunkan berat badan, perlu taktik lebih pintar.

Timbang lagi tujuanmu. Kalau mau kurus, gabungkan strategi. Kalau mau sehat, enjoy saja setiap langkah di aspal. Jalan hidup, seperti marathon—bukan sprint satu kali.

Post a Comment

Kasih koment di sini bro, met nikmatin isi blognya ya, keep safety